Wednesday, March 9, 2011

je a ja el ele

Jale ! siapa yang tahu makna dari kata tersebut? Jika Anda seorang pewarta tentunya sudah tak asing lagi dengan kata ini. Sejujurnya saya pun bingung jika harus menjabarkan makna Jale ini ke dalam sebuah kalimat sempurna. Mungkin karena saya masih seorang pewarta abal-abal. Sehingga jangankan mengerti hakikat dari Jale itu apa, mengungkapkan arti kata Jale saja rasanya sulit 

Well ! Sejauh ini yang saya ketahui terkait Jale adalah Uang!! Yap.. uang yang seringkali diterima pewarta dari berbagai narasumbernya. Baik setelah maupun sebelum peliputan. Saya mengenal istilah ini ketika saya berkesempatan menjadi pekerja kontrak sebagai seorang reporter di sebuah perusahaan televisi swasta.

Entah dari mana awalnya kata Jale ini bersumber. Yang pasti Jale ini terkadang menjadi satu compliment yang tak bisa dipisahkan dari profesi pewarta. Paling tidak begitulah asumsi saya. Oleh sebab itu, jangan heran jika dibeberapa tayangan berita televisi, seringkali diinformasikan jika wartawan tv “anu” dilarang menerima pemberian apapun dari narasumber. Informasi seperti ini dirancang dengan berbagai macam kalimat dan cara tentunya.

Perihal jale ini memang sudah lazim di dunia pewarta. Ketika pertama kali saya mengikuti training reporter di tv swasta tersebut pun, hal pertama yang diwanti-wanti sang pemimpin redaksi pun adalah larangan menerima Jale. Salah satu alasan kuatnya tentulah terkait dengan keindependensian berita yang dibuat pewarta.

Saat saya pun mulai terjun langsung ke lapangan. Fenomena jale ternyata memang dekat bahkan sangat dekat dengan profesi kami sebagai pewarta. Jale terkadang sungguh tak mengenal tempat. Jale ada di instansi-instansi pemerintah, di perusahaan swasta, di pribadi anggota DPR bahkan hingga ke tingkat RT sekalipun.

Ah! Tulisan ini sungguh tak bermaksud banyak mengungkap fenomena Jale dalam profesi kami. Apalagi mengungkap desas-desus si pemred saya tadi pernah menerima jale atau tidak. Biarlah Anda mencari tahu sendiri. Atau jika ada kesempatan, melamarlah sebagai seorang pewarta di satu perusahaan media. Mungkin akan membantu Anda mengetahui lebih dalam perihal fenomena Jale ini 

Saya sebetulnya hanya ingin sedikit mengeluarkan unek-unek saya terkait kejalean tadi. Semoga Anda tidak bosan apalagi sampai melengos membaca unek-unek saya ini.

Meski saya sudah dibekali dengan wanti-wanti sang pemred di awal training saya sebagai reporter dulu. Namun fakta di lapangan memang sulit sekali menghindari godaan dan cobaan dalam menerima jale. Si narasumber pun terkadang dengan berbagai macam cara memaksa kami untuk tetap menerima pemberiannya itu. Alasannya pun bermacam-macam. Ada yang bilang “Buat uang bensin”, “Buat uang pulsa”, “buat uang makan”, “buat tambahan bayar kosan” atau ada yang to the point bilang “Nih, biar kamu tulis yang bagus-bagus aja tentang saya”.

Godaan jale ini makin sulit sekali dihindari ketika saya bergabung di salah satu koran harian lokal. Orang-orang lokal biasanya masih haus publikasi, sehingga mereka rela mengeluarkan berapapun dan apapun demi dirinya, usahanya atau organisasinya di publikasikan.

Terlepas dari halam haram nya menerima uang jale. Terserah Anda mau meyakini yang mana. Hanya saja menurut saya, menerima jale sebagai compliment dari profesi pewarta sungguh tak seindah yang dibayangkan. Memang sih dompet kita jadi tak pernah kosong meski tanggal gajian masih lama. Tapi dengan uang jale, saya menjadi tak bisa istirahat tenang. Si narasumber yang merasa sudah memberikan uang tak jarang menjadi berkuasa terhadap dunia kita. Menghubungi hampir tak kenal waktu, mengatur berita yang akan saya tulis, bahkan tak berhenti sampai di situ. Saat berita tentang dirinya tayang atau terbit, gangguan-gangguan dari mereka pun belum berhenti. Mereka terus berkomentar mengenai isi berita yang salah atau kurang. Lebih dari sekedar 'MENYEBALKAN'!

Ketika hal itu terjadi, Apakah saya bisa mengelak atau melawan? Jelas saja Sulit. Terang saja saja sulit, la wong saya sudah memakan pemberian mereka secara senang hati. Dan mereka pun menurut saya tak sepenuhnya salah. Mereka sudah merasa memberikan saya uang pelicin, sehingga merasa bisa berbuat seenaknya terhadap dunia saya. Setidaknya untuk konten berita yang saya tulis.

Saya tak perlu jauh-jauh memikirkan keindependensian berita saya atau apalah yang terkait dengan Kode Etik Jurnslistik. Bagi saya ketika anda menerima jale maka bersiap-siaplah untuk tak bisa tidur nyenyak. Karena officially anda akan menjadi kacung si narasumber. Wallahua’lam 