Saturday, May 28, 2011

Pulang Kampung














Siang itu, satu hari setelah saya memutuskan resign dari pekerjaan saya sebagai wartawan harian lokal, mama tiba-tiba bertanya : “Jadi gimana? Mau ikut umroh gak bulan depan?" Saya hanya tersenyum sambil berucap : “Ikuuuuttttttttt!” ;)


Saya lebih senang menyebut perjalanan ini dengan tema pulang kampung. Karena perjalanan ini, betul-betul membuat saya atau siapapun yang mengalaminya, merasa dekat sekali dengan Tuhan. Dan kembali kepada Tuhan merupakan makna pulang kampung yang sebenarnya, bukan?

Pulang kampung kali ini memang bukan perjalanan saya yang pertama. Tahun 1997, saat masih duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar, saya sempat berkunjung ke Tanah Haram. Tapi entahlah, sejak mempersiapkan surat-menyurat, packing barang hingga tiba di dalam kabin pesawat, jantung saya berdetak tak seperti biasanya. Saya terlalu excited dan terharu seperti baru pertama kali pulang kampung rasanya.

Bersama 31 jemaah lainnya, Saya dan mama bertolak ke Jeddah dengan pesawat Royal Brunei. Pesawat ini mengharuskan kami untuk transit di Bandar Seri Begawan selama 2 jam sebelum akhirnya tiba di Jeddah. Sejak awal keberangkatan, ketua rombongan sudah menginfokan bahwa perjalanan ini akan mengambil route Jeddah-Mekkah-Madinah. Berarti besar kemungkinan kami akan mengambil miqot (niat umroh/berihram) di atas pesawat. Dan waktu transit selama 2 jam di Brunei, kami pergunakan untuk mengganti pakaian biasa dengan ihram, karena sulit dibayangkan jika harus berganti pakaian di dalam pesawat.

Sekitar 1 jam sebelum tiba di Jeddah, kami dikomando untuk mulai mengambil miqot, atau mulai melafazkan niat umroh. Dengan ihram di badan dan lafaz niat umroh, kami sudah wajib mengikuti syarat sahnya umroh. Seperti tak boleh memakai wewangian, tak boleh sikat gigi, tak boleh dandan, hingga tak boleh ada rambut yang berjatuhan,

Setelah lebih dari 10 jam perjalanan udara, sekitar pukul 16.00 waktu Jeddah. Kami pun tiba di King Abdul-Azis International Airport, Jeddah. Meski terlihat lebih mewah dibanding Bandara Soekarno-Hatta, saat menginjakkan kaki di sana, saya langsung rindu dengan keramahan tanah air. Keramahan alamnya yang hijau hingga keramahan masyarakatnya. Sejauh mata memandang, Jeddah hanya diselimuti hamparan pasir. Tanah di sana betul-betul tandus. Orang-orang di sana pun tak seramah orang Indonesia, bicara saja harus berteriak. Kadang saya sulit membedakan mana saatnya mereka marah mana yang bukan.

Jeddah menuju Mekkah memakan waktu sekitar 4 jam perjalanan darat. Saya sebetulnya ingin sekali melihat dan mendokumentasikan suasana kota Jeddah, hanya saja mata dan kepala saya terasa berat sekali waktu itu, saya hanya sempat menyimpulkan bahwa pembangunan kota Jeddah terlihat jauh berbeda dari 14 tahun (jelas saja!). Sepanjang perjalanan menuju Mekkah, bangunan Mall, supermarket, outlet pakaian dan toko karpet berjajar rapi. Tentu saja pemandangan ini terlihat saat mata saya masih mampu terbuka, selebihnya saya tidak mengetahui banyak ada apa saja di kota Jeddah.

Lebih dari 4 jam perjalanan, bus kami pun akhirnya tiba juga di depan bangunan sembilan lantai dengan neon box yang berdiri tegap bertuliskan "al-Haram Hotel". Hotel inilah yang akan menjadi salah satu saksi perjalanan indah ini.

Al-Haram Hotel terletak persis di tengah-tengah keramaian pasar. Kalau saya tidak salah ingat, nama wilayahnya adalah Misfalah. Daerah ini hanya berjarak sekitar 100 meter ke Masjidil Haram. Sangat Strategis.

Saat tiba di kamar hotel, masih dengan baju ihram dan dalam keadaan miqot, saya pun harus menelan kekecewaan. Menstruasi saya yang sudah habis satu hari sebelum keberangkatan, harus datang lagi. Tentu saja itu semua memaksa saya untuk membatalkan miqot saya. Dan hal ini berarti pula, saya gagal menunaikan rangkaian ibadah umroh (tawaf dan sa’i) saya di malam pertama ini. Saya menenangkan diri dengan terus berdoa semoga selama 4 hari ke depan, masa menstruasi akan berkahir, sehingga saya bisa tetap menyusul menunaikan rangkaian umroh, meski harus melaksanakannya sendiri tanpa jemaah lainnya.

Iri sekali rasanya,ketika keesokan harinya, jemaah lain sibuk bercerita tentang kedahsyatannya melihat ka’bah dan berhasil menyelesaikan rangkaian ibadahnya di hari pertama di Mekkah. Sudah menyelesaikan rangkaian umroh di malam pertama, selanjutnya hanya mengkhusyu'kan diri dengan ibadah sunnah lainnya. Sedangkan saya, malam pertama di Mekkah hanya saya habiskan di kamar hotel, tidur.

Saya baru bisa menatap ka’bah secara langsung, di hari kedua saya di Mekkah. Itupun masih dalam keadaan belum suci. Ketika akhirnya saya bisa menatap keanggunan ka’bah secara langsung, saya hanya mampu sujud syukur lalu berdoa. Tidak seperti jemaah lain yang bisa langsung sepuasnya solat sunah hajat di depan Multazam (pintu ka’bah).

4 hari di Mekkah mungkin tidak cukup untuk menuangkan kerinduan saya pada tanah Haram ini. Tapi saya kira cukup untuk sedikit bercerita bagaimana kondisi terakhir Mekkah saat saya kunjungi kemarin.


Mekkah kini dengan 14 tahun lalu, tentulah mengalami banyak perbedaan. Negeri Arab dengan segala kekayaannya sangat mudah untuk menyulap tanah Mekkah menjadi begitu “maju”. Bagaimana tidak “maju”? jika kini sejauh mata memandang hanya bangunan tinggi semacam hotel dan apartemen yang mengelilingi Masjidil-Haram.

Tahukah anda jika jam tertinggi di dunia yang dulu terletak di London, kini menjadi milik kota Mekkah? Ya. Jika dulu kita mengenal Big Ben dengan ketinggian 100 meter diklaim sebagai jam tertinggi di dunia, kini Mekkah bahkan berhasil membangun jam dengan tinggi enam kali lipat dari tinggi Big Ben. Jam setinggi 600 Meter itu berdiri anggun persis di depan Main Entrance Masjidil haram. Jam itu terletak di antara 7 menara bangunan apartemen yang baru saja selesai dibangun. Apartemen tersebut dilengkapi dengan pusat perbelanjaan serta café-café termashyur dunia. Entah siapa pemilik ide di balik semua ini. Jujur saja kemewahan tadi menjadi begitu menyedihkan bagi saya. Bangunan mewah itu sungguh seperti ingin menandingi kemegahan Masjdil Haram. Meskipun sejatinya, tanpa “kemajuan” seperti tadi, Mekkah dan Masjidil Haram akan tetap memiliki kemegahan tersendiri di hati pengunjungnya.

Pembangunan pun tak terhenti di situ. Pemerintah Saudi pun terus memperluas area Masjidil Haram. Pasar serta perumahan warga yang letaknya dekat dengan Masjidil haram sudah dipastikan rata dengan tanah. Pasar Seng yang 14 tahun lalu menjadi tempat favorit saya membeli es krim pun tak ada lagi. Namun, tak seperti di Indonesia, ganti untung yang diterima masyarakat korban penggusuran pun tak kira-kira. Bisa mencapai 1 milyar per-bangunan. Sehingga kericuhan demonstrasi untuk menuntun ganti rugi pun bisa dipastikan tak akan ada.

Lepas berkhidmat menatap dan berdo'a di depan ka'bah, di hari kedua ini, kami berziarah mengelilingi tempat-tempat bersejarah di Kota Mekkah. Kalau saya tidak salah ingat, tempat pertama yang kami kunjungi adalah Jabal Tsur, bukit tempat persembunyian Rasul saat dikejar kaum kafir Quraisy. Tempat ziarah kedua adalah Jabal Nur, Bukit yang didalamnya terletak Goa Hira, tempat Rasul mendapatkan wahyu untuk pertama kalinya. Tempat yang juga menjadi saksi keanggunan Siti Khadijah dalam balutan kesetiaannya mendampingi suaminya, Muhammad saw. Di kedua tempat ini kami tidak diizinkan turun oleh ketua rombongan kami. Suasana gurun yang penuh pasir serta hawa Mekkah yang panas di siang hari membuat ketua rombongan kami khawatir akan kesehatan para jema’ah.

Kami baru diizinkan turun dari bus yang kami tumpangi saat berkunjung ke Jabal Rahmah. Bukit yang diyakini tempat pertemuan Adam dan Hawa. Sulit menggambarkan bagaimana kondisi Jabal Rahmah saat ini. Tapi yang pasti sangat menyedihkan.

Tanpa mengurangi hormat saya pada catatan sejarah tempat tersebut, Jabal Rahmah kini tak ubahnya seperti tempat kumuh tak terawat. Kotor dan bau. Belum lagi banyak jema'ah dari berbagai macam Negara sengaja mencoret-coret dinding putih bangunan Jabal Rahmah. Tulisan yang kerap kali dituliskan adalah nama laki-laki dan perempuan, dengan tujuan agar mereka berjodoh. Ah! Saya atau mungkin juga Anda pasti berpikir, aksi pengkultusan terhadap sesuatu seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga di tanah haram. Padahal cukuplah kita menyadari tanah haram merupakan tanah penuh barokah yang bahkan berucap dalam hati pun keinginan kita mudah sekali terijabah.

Selepas mengunjungi Jabal Rahmah, kami ke Arafah. Tempat perkumpulan manusia dari berbagai ras dan suku bangsa saat musim haji tiba. Tentu saja, saat kami berkunjung ke sana, Arafah tampak sepi. Hanya terlihat tenda-tenda putih yang kerap kali digunakan jem’aah saat wukuf di musim haji.

Pembangunan pun tak hanya terjadi pada Masjidil Haram dan sekitarnya.Di Arafah, tanda-tanda bahwa pemerintah setempat sedang merekonstruksi pun jelas terlihat. Tak jauh dari lokasi wukuf, terlihat jejeran tiang-tiang pancang berukuran besar. Tiang-tiang itu merupakan cikal bakal project monorail yang akan menghubungkan Arafah, Mina dan Muzdalifah. Proyek diperkirakan akan rampung 5 tahun ke depan. Monorail ini diharapkan mampu meminimalisir kepadatan atau kemacetan yang selalu saja terjadi saat musim haji.

Satu hal lagi yang menarik pemandangan mata saya, kota Mekkah yang terkenal tandus, kini sudah banyak ditumbuhi tumbuhan hijau. Meski tak banyak wilayah yang diselimuti tumbuhan, tapi taman bunga dan rerumputan sudah bisa kita nikmati di tengah-tengah kota. Konon, untuk menghijaukan kota Mekkah, pemerintahnya harus mengimpor rumput dan bunga tadi dari Thailand dengan harga yang tidak murah. Ah! Nikmat Tuhan manakah yang mampu masyarakat Indonesia dustakan? Jika negaranya dianugerahi tanah subur dengan segala keindahan tumbuhan yang hijau.


Setelah hampir seharian berkeliling Kota Mekkah, kami ber-miqot lagi, miqot kali ini dilakukan di sebuah masjid di Ja’ronah. Bagi saya yang sejak kedatangan di Mekkah belum menuntaskan rangkaian umroh, maka miqot ini merupakan niat untuk berumroh wajib, sedangkan untuk jemaah lainnya, miqot ini dilakukan untuk berumroh sunnah.



Lagi-lagi saya harus menelan kesedihan. Miqot saya terpaksa dibatalkan karena menstruasi saya yang belum usai. Tidak terbayangkan penyesalannya jika nanti saya harus meninggalkan tanah haram tanpa menuntaskan umroh wajib. Sambil berdoa, saya terus memohon tobat kalau-kalau kejadian ini merupakan teguran dari kekhilafan saya.

Saya ingat, saat masih di tanah air, mama yang mengetahui jadwal mens saya bersamaan dengan jadwal keberangkatan umroh, ribut sekali memaksa saya mengkonsumsi ini itu untuk mempercepat siklus mens saya. Saya yang tidak bisa sabar menghadapi keribetan mama itu, sempat berucap dengan nada ketus :”Ya sudahlah mama, kalaupun nanti mens di sana, anggap saja jalan-jalan nemenin mama ibadah.”
Mengingat hal tersebut, saya tidak henti beristighfar memohon ampunan-Nya. Karena jika saja ucapan saya itu terkabul, entah bagaimana penyesalan saya. Bayangkan, jauh-jauh mengunjungi tanah haram, sedikitpun rangkaian umroh wajib tak mampu saya selesaikan. Saya tak berhenti berbisik kepada Tuhan : “Ya Allah, hamba mau menuntaskan rangkaian umroh hamba di tanah haram-Mu dengan sempurna”

Mintalah kepada-Ku, maka (pasti) akan kuperkenankan. Tuhan tak pernah mengingkari janji-Nya. Alhamdulillah, tepat di hari terakhir saya di Mekkah, mens saya berhenti. Di malam itu pula saya bisa menyelesaikan rangkaian umroh saya dengan (insya allah) sempurna. Allahu Akbar!
Tak ada yang lebih menyedihkan selain meninggalkan kehikmatan bercinta dengan pencipta. Namun. rela-tak rela, mau tak mau saya harus pergi meninggalkan kota dengan seribu kemuliaann ini, Mekkah al-Mukarromah. Sampai kapanpun, saya akan selalu rindu dengan kedahsyatan perasaan yang tidak mampu terlukiskan ini. Perasaan damai yang mampu membuat saya mengurai air mata tanpa sedikitpun saya tahu apa penyebabnya. Perasaan haru dan bahagia yang tak bernilai saat mampu menatap, mencium dan berdoa dengan sepuas hati di hadapan bangunan warisan Nabi Ibrahim as itu.

Demi Tuhan, ijinkan saya kembali dalam keadaan yang lebih baik Ya Ghafaar.